Padang | Dalam pertemuan dan diskusi kebudayaan yang digelar di Damarshaker Padang, Syamsu Rahim, tokoh masyarakat Sumatera Barat, bersama Masful, anggota Dewan Pakar LKAAM Sumbar, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi kekinian Sumatera Barat yang dinilai kehilangan arah dari akar budayanya.
Acara ini juga dihadiri oleh Ketua DPW MOI Sumbar, Prof. Anul Zufri, serta insan pers dari berbagai media daring, termasuk Radjamediaonline.com dan Lenteraindonews.com, di Damarshaker Cafe Alai Padang, Senin sore 02 Juni 2025.
Syamsu Rahim: Elit Adat Harus Bersatu, Gubernur Harus Memfasilitasi Duduk Bersama
Syamsu Rahim menegaskan bahwa untuk membangun Sumatera Barat secara utuh, diperlukan konsolidasi tiga unsur elit adat yang disebut sebagai Tungku Tigo Sajarangan: Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Ketiganya adalah pilar utama dalam struktur sosial budaya Minangkabau yang seharusnya menjadi rujukan dalam pembangunan daerah.
“Ini soal jati diri kita. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah harus menjadi napas semua kebijakan. Pemimpin yang tidak memahami struktur ini akan tersesat dalam membangun Sumbar,” ujar Syamsu.
Menanggapi pertanyaan Prof. Anul Zufri tentang sikap Gubernur Sumbar terhadap polemik antara MUI dan LKAAM, Syamsu Rahim berharap gubernur bisa memfasilitasi persoalan fundamental tersebut agar semua elit bisa duduk bersama dalam mengahadapi masalah ini, satu-satunya solusi adalah:
“Duduk bersama. Harus ada dialog lintas pemangku adat. Ini rumah kita bersama. Kalau pemilik rumah tak bicara, rumah itu akan roboh,” tegasnya.
Tanah Ulayat Tidak Bisa Disertifikatkan Secara Komunal
Dalam diskusi tersebut, Syamsu juga menyampaikan penolakan terhadap wacana sertifikasi tanah adat secara komunal. Ia mengingatkan bahwa tanah ulayat bukan barang komoditas, melainkan pusaka tinggi yang hanya boleh digunakan oleh anak kemenakan sesuai aturan adat.
“Tanah ulayat itu tidak boleh dijual-belikan. Tugas mamak kepala waris adalah menjaganya, bukan menyerahkan pada birokrasi. Negara harus menghormati itu,” tegasnya.
Masful: UU No. 17/2022 Harus Diimplementasikan, Jangan Sampai Jadi Simbol Saja
Masful menilai bahwa kondisi hubungan antara LKAAM dan MUI Sumbar yang kini sedang retak justru terjadi di saat negara telah mengakui adat Minangkabau secara formal melalui UU No. 17 Tahun 2022.
“Ini ironis. Ketika negara sudah mengakui ABS-SBK, kita malah tidak siap. MUI dan LKAAM berselisih, Bundo Kanduang mati suri. Ini kerugian besar bagi rakyat Sumatera Barat,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya kembali menyatukan suluah bendang: yaitu pemimpin adat, ulama, dan umara, sebagai poros utama kehidupan sosial Minang.
Tokoh Adat Dipinggirkan, Pemerintah Harus Introspeksi
Masful juga menyampaikan keprihatinan karena tokoh adat dari LKAAM tidak lagi dilibatkan dalam penentuan jabatan strategis, baik dalam struktur pemerintahan maupun BUMN.
“Saya risih melihat ini. Dulu zaman Pak Harto, Hasan Basri Durin dari LKAAM diangkat jadi Gubernur meski kalah suara dari Syahrul Ujud karena dianggap lebih menjaga adat. Sekarang, tokoh LKAAM seolah dianggap tak ada kualitas,” ujarnya.
Isi UU No. 17 Tahun 2022: ABS-SBK Diakui Negara
Sebagai referensi, Pasal 5 huruf c UU No. 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat menyebut:
“Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Masful menekankan bahwa undang-undang ini adalah momentum emas untuk menegakkan kembali marwah Minangkabau yang telah diwariskan nenek moyang.
Penutup: Mari Kembalikan Tali Tigo Sapilin dan Fungsi LKAAM
Dalam penutupnya, Syamsu Rahim menyampaikan seruan penting:
“Tidak ada orang Minang yang tidak bersuku, tidak bermamak. Kalau LKAAM di kabupaten/kota tidak tahu fungsinya, maka kita gagal sebagai pewaris. Mari kita duduk satu tikar, dengan hati yang jernih, demi Sumatera Barat yang kembali pada jati dirinya.”
Rapat tersebut diakhiri dengan komitmen bersama untuk menghidupkan kembali filosofi tali tigo sapilin, memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap adat, dan mendorong pemimpin daerah agar menjadi “pucuak undang dalam nagari, payuang panji di Minangkabau”.